Sabtu, 30 November 2013

TOKSIKOLOGI


TOKSIKOLOGI


by Rhezha Hussein, S.Pd. M.Si.                                                                                

PENDAHULUAN
            Keracunan akut terjadi lebih dari sejuta kasus dalam setiap tahun, meskipun hanya sedikit yang fatal. Sebagian kematian disebabkan oleh bunuh diri dengan mengkonsumsi obat secara overdosis oleh remaja maupun orang dewasa. Kematian pada anak akibat mengkonsumsi obat atau produk rumah tangga yang toksik telah berkurang secara nyata dalam 20 tahun terakhir, sebagai hasil dari kemasan yang aman dan pendidikan yang efektif untuk pencegahan keracunan.
            Keracunan tidak akan menjadi fatal jika korban mendapat perawatan medis yang cepat dan perawatan suportif yang baik. Pengelolaan yang tepat, baik dan hati-hati pada korban yang keracunan menjadi titik penting dalam menangani korban.

DEFINISI DAN ISTILAH DALAM TOKSIKOLOGI
Toksikologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang efek merugikan berbagai bahan kimia dan fisik pada semua sistem kehidupan. Dalam istilah kedokteran, toksikologi didefinisikan sebagai efek merugikan pada manusia akibat paparan bermacam obat dan unsur kimia lain serta penjelasan keamanan atau bahaya yang berkaitan dengan penggunaan obat dan bahan kimia tersebut. Toksikologi sendiri berhubungan dengan farmakologi, karena perbedaan fundamental hanya terletak pada penggunaan dosis yang besar dalam eksperimen toksikologi. Setiap zat kimia pada dasarnya adalah racun, dan terjadinya keracunan ditentukan oleh dosis dan cara pemberian.  Salah satu pernyataan Paracelsus menyebutkan “semua substansi adalah racun; tiada yang bukan racun. Dosis yang tepat membedakan racun dari obat”. Pada tahun 1564 Paracelsus telah meletakkan dasar penilaian toksikologis dengan mengatakan, bahwa dosis menentukan apakah suatu zat kimia adalah racun (dosis sola facit venenum). Pernyataan Paracelcus tersebut sampai saat ini masih relevan. Sekarang dikenal banyak faktor yang menyebabkan keracunan, namun dosis tetap merupakan faktor utama yang paling penting.
Toksisitas merupakan istilah dalam toksikologi yang didefinisikan sebagai kemampuan bahan kimia untuk menyebabkan kerusakan/injuri. Istilah toksisitas merupakan istilah kualitatif, terjadi atau tidak terjadinya kerusakan tergantung pada jumlah unsur kimia yang terabsopsi. Sedangkan istilah bahaya (hazard) adalah kemungkinan kejadian kerusakan pada suatu situasi atau tempat tertentu; kondisi penggunaan dan kondisi paparan menjadi pertimbangan utama. Untuk menentukan bahaya, perlu diketahui dengan baik sifat bawaan toksisitas unsur dan besar paparan yang diterima individu.  Manusia dapat dengan aman menggunakan unsur berpotensi toksik jika menaati kondisi yang dibuat guna meminimalkan absopsi unsur tersebut. Risiko didefinisikan sebagai kekerapan kejadian yang diprediksi dari suatu efek yang tidak diinginkan akibat paparan berbagai bahan kimia atau fisik.
Istilah toksikokinetik merujuk pada absopsi, distribusi, ekskresi dan metabolisme toksin, dosis toksin dari bahan terapeutik dan berbagai metabolitnya. Sedangkan istilah toksikodinamik digunakan untuk merujuk berbagai efek kerusakan unsur tersebut pada fungsi fital.


ETIOLOGI
            Pada dasarnya tidak ada batas yang tegas tentang penyebab dari keracunan berbagai macam obat dan zat kimia, karena praktis setiap zat kimia mungkin menjadi penyebabnya. Secara ringkas klasifikasi keracunan sebagai berikut:
  • Menurut cara terjadinya
    1. Self poisoning
Pada keadaan ini pasien makan obat dengan dosis berlebihan tetapi dengan pengetahuan bahwa dosis ini tidak membahayakan. Self poisoning biasanya terjadi karena kekurang hati-hatian dalam penggunaan. Kasus ini bisa terjadi pada remaja yang ingin coba-coba menggunakan obat, tanpa disadari bahwa tindakan ini dapat membahayakan dirinya.
    1. Attempted poisoning
Dalam kasus ini, pasien memang ingin bunuh diri, tetapi bisa berakhir dengan kematian atau pasien sembuh kembali karena salah tafsir dalam penggunaan dosis.
    1. Accidental poisoning
Kondisi ini jelas merupakan suatu kecelakaan tanpa adanya unsur kesengajaan sama sekali. Kasus ini banyak terjadi pada anak di bawah 5 tahun, karena kebiasaannya memasukkan segala benda ke dalam mulut.
    1. Homicidal piosoning
Keracunan ini terjadi akibat tindak kriminal yaitu seseorang dengan sengaja meracuni seseorang.
  • Menurut waktu terjadinya keracunan
    1. Keracunan  kronis
Diagnosis keracunan ini sulit dibuat, karena gejala timbul perlahan dan lama sesudah pajanan. Gejala dapat timbul secara akut setelah pemajanan berkali-kali dalam dosis yang relatif kecil.
    1. Keracunan akut
Keracunan jenis ini lebih mudah dipahami, karena biasanya terjadi secara mendadak setelah makan atau terkena sesuatu. Selain itu keracunan jenis ini biasanya terjadi pada banyak orang (misal keracunan makanan, dapat mengenai seluruh anggota keluarga atau bahkan seluruh warga kampung). Pada keracunan akut biasanya mempunyai gejala hampir sama dengan sindrom penyakit, oleh karena itu harus diingat adanya kemungkinan  keracunan  pada sakit mendadak.
  • Menurut alat tubuh yang terkena
Keracunan digolongkan menurut organ tubuh yang terkena, misal racun pada SSP, racun jantung, racun hati, racun ginjal dan sebagainya. Suatu organ cenderung dipengaruhi oleh banyak obat, sebaliknya jarang terdapat obat yang mempengaruhi /mengenai satu organ saja.
  • Menurut jenis bahan kimia
    1. Alkohol
    2. Fenol
    3. Logam berat
    4. Organofosfor
Pengklasifikasian bahan toksik yang menjadi penyebab keracunan adalah sebagai berikut:
  • Menurut keadaan fisik         : gas, cair, debu
  • Menurut ketentuan label      : eksplosif, mudah terbakar, oksidizer
  • Menurut struktur kimiawi    : aromatik, halogenated, hidrokarbon, nitrosamin
  • Menurut potensi toksik          : super toksik, sangat toksik sekali, sangat toksik, toksik, agak  toksik

METODE KONTAK DENGAN RACUN
Jalur masuk bahan kimia ke dalam tubuh berbeda menurut situasi paparan.  Metode kontak dengan racun melalui cara berikut:
  • Tertelan
Efeknya bisa lokal pada saluran cerna dan bisa juga sistemik. Contoh kasus: overdosis obat, pestisida
  • Topikal (melalui kulit)
Efeknya iritasi lokal, tapi bisa berakibat keracunan sistemik. Kasus ini biasanya terjadi di tempat industri. Contoh: soda kaustik, pestida organofosfat
  • Topikal (melalui mata)
Efek spesifiknya pada mata dan bisa menyebabkan iritasi lokal. Contoh : asam dan basa, atropin
  • Inhalasi
Iritasi pada saluran nafas atas dan bawah, bisa berefek pada absopsi dan keracunan sistemik. Keracunan melalui inhalasi juga banyak terjadi di tempat-tempat industri.   Contoh : atropin, gas klorin, CO (karbon monoksida)
  • Injeksi
Efek sistemik, iritasi lokal dan bisa menyebabkan nekrosis. Masuk ke dalam tubuh bisa melalui intravena, intramuskular, intrakutan maupun intradermal.

EFEK TOKSIK
            Penilaian keamanan suatu obat atau zat kimia merupakan bagian penting dalam toksikologi, karena setiap zat kimia yang baru akan digunakan harus diuji toksisitas dan keamanannya.  Seabelum suatu obat dapat digunakan untuk indikasi tertentu, harus diketahui dulu efek apa yang akan terjadi terhadap semua organ tubuh yang sehat. Jarang obat yang hanya mempunyai satu jenis efek, hampir semua obat mempunyai efek tambahan dan mampu mempengaruhi berbagai macam organ dan fungsi fital. Efek yang menonjol, biasanya merupakan pegangan dalam menentukan penggunaan, sedangkan perubahan lain merupakan efek samping yang bahkan bisa menyebabkan toksik. Biasanya reaksi toksik merupakan kelanjutan dari efek farmakodinamik.  Karena itu, gejala toksik merupakan efek farmakodinamik yang berlebihan.
            Reaksi toksik berbeda secara kualitatif, tergantung durasi paparan. Paparan tunggal atau paparan berulang yang berlangsung kurang dari 14 hari disebut paparan akut. Paparan yang terjadi kurang dari 14 hari merupakan paparan sub-akut. Paparan sub-kronis bila terpapar selama 3 bulan dan disebut paparan kronis bila terpapar secara terus-menerus selama lebih dari 90 hari. Efek toksik pada paparan kronis dapat tidak dikenali sampai setelah paparan terjadi berulang kali.
            Kemunculan efek toksik sesudah paparan akut dapat terjadi secara cepat maupun terjadi setelah interval tertentu. Efek yang seperti ini disebut sebagai delayed toxicity (toksisitas tertunda). Adapun efek berbahaya yang timbul akibat kontak dengan konsentrasi rendah bahan kimia dalam jangka waktu lama disebut low level, long term-exposure (paparan jangka lama, tingkat rendah). Efek berbahaya, baik akibat paparan akut maupun kronis, dapat bersifat reversibel maupun ireversibel. Riversibilitas relatif efek toksik tergantung daya sembuh organ yang terkena.
            Manusia bisa melakukan kontak dengan beberapa bahan kimia berbeda secara bersamaan ataupun sekuensial. Efek biologis akibat paparan campuran beberapa bahan dapat digolongkan sebagai adiktif, sinergitik, potensiasi, antagonistik dan toleransi.  Pada  potensiasi, satu dari dua bahan tidak menimbulkan toksik, namun ketika terjadi paparan kedua bahan tersebut, efek toksik dari bahan yang aktif akan meningkat. Kondisi sinergistik dua bahan yang mempunyai sifat toksik sama atau salah satu bahan memperkuat bahan yang lain, maka efek toksik yang dihasilkan lebih bahaya. Antagonistik merupakan dua bahan toksik yang mempunyai kerja berlawanan, toksik yang dihasilkan rendah/ringan. Toleransi merupakan keadaan yang ditandai oleh menurunnya reaksi terhadap efek toksik suatu bahan kimia tertentu.  Biasanya efek toksik campuran bahan kimia bersifat aditif.

INDEK TERAPEUTIK
            Indek terapeutik adalah rasio antara dosis toksik dan dosis efektif. Indek ini menggambarkan keamanan relatif sebuah obat pada pengunaan biasa.  Indeks terapeutik suatu dosis diperlukan, karena terapi yang dijalankan dapat menimbulkan efek. Diperkirakan sebagai rasio LD 50 (dosis letal pada 50 % kasus) terhadap ED 50 (dosis efektif pada 50% kasus). Dalam praktik, sebuah substansi dikatakan memiliki indeks terapeutik “tinggi” atau “rendah”. Penggunaan terapi obat sebaiknya mempunyai ED yang lebih besar daripada LD. Obat yang mempunyai indek terapeutik lebar biasanya tidak memerlukan pemantauan obat terapeutik. Pemantauan obat terapeutik biasanya dilakukan pada obat yang mempunyai indek terapeutik sempit. Tujuan dari pemantauan obat terapeutik adalah:
  • Mengevaluasi kepatuhan klien terhadap terapi yang diberikan
  • Untuk mengetahui apakah obat lain sudah mengubah konsentrasi obat
  • Untuk menentukan respon tidak efektif terhadap obat tertentu
  • Untuk menentukan kadar obat dalam serum apabila dosis obat diubah.
            Setiap zat kimia, bila diberikan dengan dosis yang cukup besar akan menimbulkan gejala-gejala toksis. Gejala-gejala ini pertama-tama harus ditentukan pada hewan coba melalui penelitian  toksisitas akut dan subkronik. Penelitian toksisitas akut diutamakan untuk mencari efek toksik, sedangkan penelitian toksisitas kronik untuk menguji keamanan obat.  Penilaian keamanan obat dapat dilalukan melalui tahapan berikut:
  • Menentukan LD 50
  • Melakukan percobaan toksisitas akut dan kronik untuk menentukan no effect level
  • Melakukan percobaan karsinogenisitas, teratogenesis dan mutagenisitas.

PENATALAKSANAAN DAN IMPLIKASI KEPERAWATAN
            Orang sering menghubungkan racun dengan antidotnya, padahal sebenarnya hanya ada sedikit antidot spesifik. Penanganan yang  tepat dan hati-hati akan mencegah kondisi korban menjadi lebih fatal. Seorang perawat dalam menangani kasus keracunan ini bisa berperan dalam proses pengkajian, perencanaan, implementasi sampai evaluasi. Pada pengelolaan pasien keracunan yang paling penting adalah penilaian klinis, meskipun sebab keracunan belum diketahui. Hal ini disebabkan karena pengobatan simtomatis sudah dapat dilakukan terhadap gejala-gejalanya. Diantaranya yang sangat penting pada permulaan keracunan adalah penilaian kesadaran dan respirasi. Kesadaran merupakan petunjuk penting tentang beratnya keracunan. Tingkat kesadaran dalam toksikologi dapat dibagi menjadi 4 tingkat, yaitu:
  • Tingkat I                : penderita ngantuk tapi mudah diajak bicara
·         Tingkat II              : penderita dalam keadaaan sopor, dapat dibangunkan dengan rangsang minimal, misalnya bicara keras-keras atau menggoyang lengan
  • Tingkat III      : penderita dalam keadaan  soporokoma, hanya dapat bereaksi dengan rangsang maksimal, yaitu dengan menggosok sternum dengan kepalan tangan.
  • Tingkat IV      : penderita dalam keadaan koma, tidak ada reaksi sedikitpun terhadap rangsang maksimal.
Rencana tindakan untuk pasien keracunan meliputi:
  • Stabilisasi
Perawatan pasien keracunan diarahkan untuk stabilisasi masalah-masalah mendesak jalan nafas yang mengancam hidup, pernafasan dan sirkulasi. Langkah-langkah stabilisasi adalah sebagai berikut:
    1. Kaji dan tangani jalan nafas
    2. Kaji dan kontrol perdarahan. Cegah dan tangani syok dengan pemberian produk darah jika perlu.
    3. Kaji terhadap adanya cidera yang berkaitan dengan proses penyakit lain
    4. Kaji, tetapkan, tangani status asam basa dan elektrolit.
    5. Kaji status jantung
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan singkat, dengan penekanan pada wilayah-wilayah yang mungkin memberi petunjuk ke arah diagnosis toksikologi, meliputi:
1.      Tanda-tanda vital
Evaluasi yang teliti terhadap tanda-tanda vital yang meliputi tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu dan tingkat kesadaran.
2.      Mata
Mata merupakan sumber informasi yang penting untuk toksikologis, karena beberapa kasus toksikologis menyebabkan perubahan pada mata. Tetapi dalam menentukan prognosis keracunan gejala ini tidak bisa dijadikan pegangan.
3.      Mulut
Mulut mungkin menunjukkan tanda-tanda terbakar yang disebabkan oleh unsur korosif atau mungkin menunjukkan bekas tertentu yang menjadi cirikas dari suatu bahan toksik.
4.      Kulit
Kulit sering menunjukkan adanya kemerahan atau keluar keringat yang berlebihan.
5.      Abdomen
Pemeriksaan abdomen bisa menunjukkan adanya ileus, bising usus yang hiperaktif, dan kejang abdomen. Perubahan bising usus biasanya menyertai perubahan tingkat kesadaran.  Pada kesadaran tingkat III biasanya bising usus negatif, dan pada tingkat IV selalu negatif, sehingga pemeriksaan ini bisa dipakai untuk mencocokkan tingkat kesadaran, misalnya pada orang yang bersimulasi.
6.      Sistem saraf
Seizure fokal atau defisit motorik menunjukkan adanya lesi struktural daripada toksik atau ensefalopati metabolik.
            Pada intinya penanganan awal pada kasus keracunan adalah menangani masalah ABC, bukan mencari penyebab keracunannya apa, baru setelah kondisi stabil dicari penyebab keracunan.
  • Riwayat umum
Setelah pasien berhasil distabilkan, upaya-upaya untuk mendapatkan riwayat pemajanan bisa dilakukan. Riwayat tersebut bisa diperoleh dari pasien sendiri, angota keluarga, teman-teman, para penyelamat dan  saksi. Hal terpenting adalah mengidentifikasi bahan toksik, jumlah dan waktu pemajanan, alergi atau penyakit yang mendasari, dan apakah tindakan pertolongan pertama yang telah dilakukan.
  • Identifikasi keberadaan sindrom toksik
Adanya sindrom toksik dapat membantu menegakkan diagnosa banding dengan mengusulkan berdasarkan kelas dari racun yang mungkin mengenai korban. Lima sindrom toksik yang sering muncul adalah sebagai berikut:
    1. Kolinergik
Gejala : tanda vital menurun, salivasi berlebihan, lakrimasi, urinasi, emesis dan diaforesis, depresi sistem saraf, bradikardi, kejang.
Penyebab : insektisida organofosfat dan karbamat, beberapa jamur
    1. Opiat/hipnotik sedatif
Gejala : TTV menurun, koma, depresi pernafasan, miosis, hipotensi, bradikardi, penurunan bising usus, edema pulmonal.
Penyebab : narkotik, benzodiazepam, barbiturat, etanol, klonidin
    1. Antikolinergik
Gejala : delirium, kering, ruam kulit, pupil melebar, suhu tinggi, retensi urine, bising usus menurun, takikardi, kejang
Penyebab ; antihistamin, atropin, agen antidepresan, beberapa tanaman jamur
    1. Simpatomimetik
Gejala : delusi, paranoia, takikardia, hipertensi, midriasis, kejang
Penyebab : kokain, teofilin, kafein, amfetamin, fenipropanolamin
    1. Gejala putus obat
Gejala : diare, midriasis, takikardia, halusinasi, kram
Penyebab : alkohol, barbiturat, narkotik, benzodiazepin

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kasus keracunan dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu:
  • Penatalaksanaan umum
  • Penatalaksanaan tingkat lanjut
Penatalakasanaan umum
Langkah ini termasuk tindakan pertolongan pertama yang diberikan untuk mencegah absopsi agen dan jika memungkinkan untuk menyingkirkan pemajanan berlanjut atau berulang.
Properti fisiokimia obat atau toksik, banyaknya, dan waktu pemajanan dapat menentukan tipe dan beratnya dekontaminasi. Dekontaminasi melibatkan pengeluaran toksik dari kulit, saluran cerna, inhalasi, dan okular.
  • Pemajanan okuler
Dalam kasus ini , dekontaminasi dicapai dengan pengaliran  air suam-suam kuku atau normal saline segera setelah pemajanan. Menggunakan gelas besar atau mandi pancur bertekanan rendah, mata akan terus-menerus tergenangi selama 15 sampai 30 menit sambil mengedip mata, memejam dan membuka mata. Jika gejala dari iritasi okuler belum mereda setelah dilakukan dekontaminasi, maka diperlukan pemeriksaan mata lanjutan.
  • Pemajanan dermal
Setelah melepas pakaian yang terkontaminasi, dekontaminasi kulit dilakukan dengan merendam kulit dalam air suam-suam kuku selama 15 sampai 30 menit dan kemudian secara lembut mulai membersihkan bagian yang terkontaminasi dengan air dan sabun, membilas dengan menyeluruh. Kasus penyerapan toksin secara dermal, pemberi perawatan kesehatan dapat berisiko terhadap toksisitas jika terjadi kontaminasi dermal sementara membantu korban untuk dekontaminasi. Netralisasi asam basa pada kulit dianjurkan untuk pemberi perawatan.
  • Pemajanan inhalasi
Langkah pertama yang dilakukan adalah memindahkan korban ke tempat yang udaranya segar sambil memastikan bahwa penolong tidak terpajan toksik yang menyebar di udara. Jalan nafas yang paten harus dibuat dan status pernafaasan dikaji. Pernafasan buatan diperlukan jika korban tidak bernafas spontan.
  • Ingesti
Dilusi dengan susu dan air dilakukan pada menelan  iritan atau kaustik. Pada orang dewasa dapat didilusi dengan satu gelas susu atau air, sedangkan pada anak-anak dapat diberikan 2 sampai 8 ons cairan, berdasarkan pada ukurannya.

Penatalaksaanaan Tingkat Lanjut
Langkah ini mengacu pada modalitas tindakan yang khusus, yang dapat mencakup langkah-langkah pencegahan lebih lanjut terhadap absorpsi, peningkatan eliminasi, pemantauan pasien, pemberian antidotum, dan perawatan simtomatik dan suportif. Cara ini meliputi:
  • Emetik
Merupakan tindakan mengeluarkan kembali obat atau toksik yang tertelan dengan merangsang muntah. Pada umumnya tindakan ini dilakukan dalam 4 jam setelah kejadian, lebih cepat lebih baik. Muntah yang ditimbulkan tidak akan mengosongkan lambung seluruhnya, hanya sekitar 30 % isi lambung yang dapat dikeluarkan. Biasanya emetik yang digunakan adalah sirup ipecac. Sirup ini harus diberikan sesegera mungkin setelah ingesti (dalam 30 menit) dan diikuti dengan air dan meningkatkan aktivitas fisik pasien. Jika dosis awal gagal untuk mendapatkan hasil dalam waktu 20 sampai 30 menit, dapat diulang satu kali dengan dosis sama. Apabila emesis sudah selesai, tunda makan minum selama satu sampai dua jam untuk menenangkan lambung.
Kontraindikasi untuk tindakan emesis:
    1. Depresi status mental
    2. Tidak ada reflek muntah
    3. Kejang
    4. Ingesti  agen yang dapat menimbulkan serangan depresi pada SSP
    5. Agen kaustik yang tertelan telah dicerna
    6. Setelah menelan substansi korosif
    7. Setelah minum turunan petrolium
  • Lavage lambung
Merupakan metode alternatif yang umum untuk pengosongan lambung, dimana cairan seperti normal saline dimasukkan ke dalam lambung melalui orogastrik atau nasogastrik dengan diameter besar dan kemudian dibuang dalam upaya untuk membuang bagian agen yang mengandung toksik.
Indikasi lavage lambung adalah:
1.      Depresi status mental
2.      Tidak ada reflek muntah
3.      Gagal dengan terapi emesis
4.      Pasien dalam keadaan sadar
Kontraindikasi lavage lambung:
1.      Ingesti kaustik
2.      Kejang yang tidak terkontrol
Untuk tindakan ini pasien dibaringkan dalam posisi dekubitus lateral sebelah kiri, dengan bagian kepala lebih rendah daripada kaki. Masukkan cairan 150 sampai 200 ml air atau saline (pada anak 50 sampai 100 ml) ke dalam lambung. Prosedur ini diulang sampai keluar cairan yang jernih atau sedikitnya menggunakan 2 liter air. Intubasi nasotrakeal atau endotrakeal diperlukan untuk melindungi jalan udara. Prosedur ini dilakukan 4 jam setelah obat ditelan.
Komplikasi lavage lambung:
1.      Perforasi esofagus
2.      Aspirasi pulmonal
3.      Ketidakseimbangan elektrolit
4.      Tensi pneumothorak
5.      Hipotermia pada anak-anak bila menggunakan lavage yang dingin
  • Adsorben
Adsorben merupakan bahan padat yang mempunyai kemampuan menarik dan menahan pada permukaannya bahan lainnya. Pasien diberi karbon aktif yang berupa bubur ditambah air, yang komposisinya terdiri atas karbon aktif 1 bagian dengan 8 bagian air (1:8) sampai 1:10. karena ikatan karbon-toksik lemah, maka harus segera dikeluarkan dari saluran cerna dengan menggunakan laksatif. Penggunaan adsorben harus hati-hati pada pasien dengan bising usus rendah, dan menjadi kontraindikasi untuk pasien dengan gangguan usus.
  • Katartik
Pemberian agen katartik dapat mempercepat eliminasi toksin dari saluran cerna dan mengurangi absorpsi. Katartik diberikan per oral atau dengan selang nasogastrik pada semua kasus keracunan di mana arang obat dianjurkan, kecuali pada anak kecil. Pada anak-anak kurang dari 1 tahun, katartik tidak diberikan untuk menghindari dehidrasi.
  • Peningkatan eliminasi
Setelah prosedur diagnostik dan dekontaminasi serta pemberian antidot dilakukan dengan tepat, penting untuk mempertimbangkan langkah peningkatan eliminasi, seperti diuresis paksa, dialisis atau tranfusi tukar.
Diuresis paksa adalah tindakan memberi caairan parenteral dalam jumlah besar (0,5-1,5 liter sejam) untuk mempercepat ekskresi obat melalui ginjal. Syarat diuresis paksa adalah sebagai berikut:
1.      Keracunan harus berat
2.      Obat harus larut dalam air
3.      Berat molekul obat kecil
4.      Obat tidak diikat oleh protein maupun lemak
5.      Obat tidak dikumulasi dalam suatu rongga atau organ tubuh
6.      Obat tidak diekskresi lebih cepat melalui jalan lain, misal paru atau usus.
Tindakan ini mudah dilakukan tetapi mengandung bahaya yang tidak boleh diabaikan karena itu hanya dilakukan bila ada indikasi yang baik dan memenuhi syarat-syaratnya. Kontraindikasi untuk diuresis paksa adalah:
1.      Gagal jantung
2.      Insufisiensi ginjal
3.      Syok
Semula diuresis paksa sangat populer, tetapi karena tidak terbukti manfaatnya, cara ini jarang digunakan, karena bisa mengakibatkan ketidaknormalan elektrolit.
Hemodialisis merupakan proses perubahan komposisi terlarut darah dengan difusi menembus dinding semipermiabel antara darah dan larutan garam. Metode ini digunakan bila metode konservatif tidak berhasil. Sedangkan hemoperfusi adalah metode pembuangan obat dan toksin dari darah, dengan memompakan darah melewati  bahan adsorben dan kemudian disirkulasikan kembali ke dalam tubuh pasien. Antikoagulasi seperti heparin diperlukan untuk mencegah pembekuan darah. Tranfusi tukar merupakan  pembuangan bagian darah pasien dan menggantikan dengan darah lengkap yang segar,  cara terakhir ini sangat jarang dilakukan.

Pemantauan Pasien Keracunan
Pasien yang keracunan akan memerlukan pemantauan kontinue selama berjam-jam atau berhari-hari setelah pemajanan. Peralatan diagnostik serta tanda-tanda gejala akan memberikan informasi tentang perkembangan pasien dan arah pengobatan serta penatalaksanaan keperawatan. Poemantauan toksikologi meliputi:
  1. Elektrokardiografi
EKG dapat memberikan bukti-bukti dari obat-obat yang menyebabkan penundaan disritmia atau konduksi.
  1. Radiologi
Banyak substansi adalah radioopak, dan cara ini juga untuk menunjukkan adanya aspirasi dan edema pulmonal.
  1. Analisa Gas Darah, elektrolit dan pemeriksaan laboratorium lain
Keracunan akut dapat mengakibatkan ketidakseimbangan kadar elektrolit, termasuk natrium, kalium, klorida, magnesium dan kalsium. Tanda-tanda oksigenasi yang tidak adequat juga sering muncul, seperti sianosis, takikardia, hipoventilasi, dan perubahan status mental.
  1. Tes fungsi ginjal
Beberapa toksik mempunyai efek nefrotoksik secara lengsung.
  1. Skrin toksikologi
Cara ini membantu dalam mendiagnosis pasien yang keracunan. Skrin negatif tidak berarti bahwa pasien tidak keracunan, tapi mungkin racun yang ingin dilihat tidak ada. Adalah penting untuk mengetahui toksin apa saja yang bisa diskrin secara rutin di dalam laboratorium, sehingga pemeriksaannya bisa efektif.



BEBERAPA CONTOH ANTIDOTUM
Antidotum merupakan ramuan/obat untuk melawan atau menawarkan kerja racun. Berikut ini adalah contoh beberapa antidotum yang ada:
TOKSIN
ANTIDOTUM
Opiat
Metanol, etilen glikol
Antikolinergik
Organofosfat/insektisida karbamat
Beta bloker
Digitalis, glikosida
Benzodiazepin
Karbon monoksida
Nitrit
Asetaminofen
Cianida


Penghambat saluran kalsium
Nalokson
Etanol
Fisostigmin
Atropin, piridoksin
Glukagon
Digoksin-fragmen antibodi tertentu
Flumazenil
Oksigen
Metilen biru
N-asetilsistein
Amil nitrit
Natrium nitrit
Natrium tiosulfat
Kalsium glukonat



DAFTAR PUSTAKA

Ganiswara, S.G.,dkk. 1998. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: Bagian Farmakologi FK UI
Hayes, E.R., et.al. 1996. Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta: EGC
Hudak & Gallo. 1996. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik. Vol.2. Jakarta: EGC
Katzung, B.G. 2004. Farmakologi: Dasar dan Klinik. Edisi 8. Jakarta: Salemba Medika
Tambayong, J. 2002. Farmakologi Untuk Keperawatan. Jakarta: Widya Medika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar